I will fly
Sabtu, 15 September 2012
Berdirinya Masjid Kiai Marogan dalam sejarah tidak terlepas dari sejarah
Kiai Marogan itu sendiri, Sebagai pengusaha yang sukses Kiai Masagus
Haji Abdul Hamid bin Mahmud alias Kiai Marogan mendirikan Masjid di
pertemuan antara Sungai Musi dan Sungai Ogan yang dibangun kira–kira
tahun 1871 M, dari segi arsitektur bangunan masjid ini sama dengan
Masjid Agung Palembang. Masjid ini bernama Masjid Jami’ Kiai Haji Abdul
Hamid bin Mahmud. Akan tetapi Masjid ini kemudian lebih dikenal dengan
sebutan Masjid Kiai Muara Ogan yakni Masjid yang didirikan oleh Kiai
yang bertempat tinggal di tepi Sungai Musi di Muara Sungai Ogan.
Lama-kelamaan penyebutan Muara Ogan berubah menjadi Marogan atau Merogan
sehingga nama Masagus Haji Abdul Hamid sering dipanggil Kiai Masagus
Haji atau Kiai Marogan dan Masjidnya populer dengan sebutan Masjid Muara
Ogan. Nama Kiai Marogan sekarang ini juga diabadikan sebagai nama
jalan, mulali dari simpang empat jembatan Musi II Kemang Agung sampai
dengan simpang empat jembatan Kertapati 1 Ulu Palembang.
Pada mulanya masjid in digunakan sebagai tempat sholat dan belajar
mengaji serta belajar agama bagi para keluarga dan masyarakat sekitar
kampung Karang Berahi Kertapati, karena sebagai ulama Masagus Haji Abdul
Hamid mempunyai banyak murid, salah satu muridnya sekaligus teman
dekatnya yaitu Kiai Kemas Haji Abdurahman Delamat (Kiai Delamat yang
mendirikan masjid Al-Mahmudiyah Suro 32 Ilir Palembang). Kemudian masjid
yang semula milik pribadi Kiai Muara Ogan ini diwakafkan bersama dengan
Masjid Lawang Kidul 5 Ilir Palembang pada tanggal 6 Syawal 1310 H (23
April 1893 M). Karena semakin lama jumlah anggota jamaah Masagus Haji
Abdul Hamid semakin bertambah maka masjid tersebut perlu ditingkatkan
fungsinya sebagai tempat sholat Jumat (Masjid Jami’).
Tidak ditemukan catatan yang pasti kapan masjid ini menjadi masjid
Jami’. Ada dugaan menyatakan bahwa sholat Jumat baru dilakukan setelah
persetujuan Raad Agama terhadap wakaf tersebut. Sedang dugaan lain
menegaskan bahwa masjid tersebut telah digunakan untuk sholat Jumat
tidak lama setelah dibangun. Dugaan pertama didasarkan atas anggapan
bahwa Masjid Muara Ogan diwakafkan secara bersama dengan Masjid Lawang
Kidul dan sholat Jumat baru dipersoalkan setelah adanya persetujuan
tersebut. Sementara dugaan kedua didasarkan atas letaknya yang cukup
jauh sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap jamaah Masjid Agung.
Hingga sekarang masjid ini masih dipergunakan sebagai tempat ibadah atau
tempat kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Menurut sejarah dari orang tua-tua antara lain Almarhum Masagus Haji
Abdul Karim Dung (manatan Ketua Yayasan Masjid Kiai Muara Ogan), bahwa
pada mulanya tanah milik Kiai Muara Ogan yang diatas tanah tersebut
dibangun masjid Muara Ogan adalah jauh lebih luas dari pada yang ada
sekarang, yaitu sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Musi, sebelah
Timur sampai belakang pasar Kertapati, sebelah Utara berbatas dengan
Sungai Ogan dan sebelah Selatan sampai ke Sungai Gelam (Keramasan). Hal
in dapat dibuktikan sebagai contoh bahwa tanah “Pulau Kemaro” selama ini
banyak yang menganggapnya sebagai tanah Tak Bertuan alias Tanah Negara
padahal sesungguhnya adalah milik Kiai Muara Ogan, yang dapat dibuktikan
kebenanrannya.
Sebagai salah satu warisannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih
menampakkan kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini.
Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai
lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli. Namun,
terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41
meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian
besar materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti.
Bagian yang diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting
belah bambu. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan
genting kodok.
Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan
pasir. Sedangkan bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang
lainnya? terbuat dari kayu unglen. Interior mesjid, juga masih
menampakkan keaslian. Empat saka guru memilik ketinggian delapan meter
dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih kurang enam meter. Kesemua
tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap sepanjang 20 meter
juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
Sejak berdirinya hingga sekarang masjid Kiai Muara Ogan pernah mengalami
beberapa kali percobaan penggusuran, hal ini disebabkan karena letaknya
yang setrategis sebagai contoh pada tahun 1911 Perusahaan Kareta Api
ZSS (Zuit Spoor Sumatera) milik Pemerintah Hindia Belanda melakukan
perluasan stasiun kereta api, akibatnya tanah milik Kiai Muara Ogan
diambil dan tinggal yang ada sekarang seluas 12.586 meter bujur sangkar
diatas tanah in beridir bangunan sebuah masjid, 3 (tiga) buah sekolah,
makam Kiai Muara Ogan dan zuriatnya dan beberapa rumah zuriat Kiai Muara
Ogan. Selain dari tanah komplek Masjid Kiai Muara Ogan tersebut tanah
dikuasai oleh PT. Kereta Api.
Pada masa pendudukan Jepang, dilakukan pendalaman Sungai Musi di depan
masjid Kiai Muara Ogan untuk keperluan pengambilan bahan batu bara dari
pusat pembagiannya di komplek TABA Keretaapi dengan menggunakan
kapal-kapal besar. Akibatnya tanah yang berada dipinggiran sungai yang
berbatasan dengan masjid, sejak tahun 1943 sampai 1980 mengalami erosi
terus menerus baik oleh hempasan sungai maupun akibat curah hujan,
sehingga tanah di depan masjid tersebut hanya tinggal 2 (dua) meter dari
mihrab (Pengimaman).
Untuk mengatasi tanah longsor tersebut dimintakjan bantuan kepada
masyarakat maupun pihak tertentu. Pada tahun 1969 dibentuklah sebuah
Yayasan dengan nama Yayasan masjid Kiai Muara Ogan dengan susunan
pengrurus anatar lain Ketua Masagus Haji Abdul karim Dung, Wakil Ketua
Ustadz Muhammad Jakfar, Sekretaris Masagus Ibrahim Rahman dan Bendahara
Masagus haji Umar Usaman.
Pengurus yaysan mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mengatasi
tanah longsor tersebut dan Alahamdulillah pada tahun 1980 Bapak Presiden
Soeharto memberikan bantuan sebesar Rp 10 juta yang diberikan secara
bertahap. Secara perlahan tapi pasti bahaya longsor dapat ditanggulangi.
Sekitar tahun 1950 masjid Kiai Muara Ogan mengadakan renovasi yaitu
Mustaka atau Limas teratas yang berbentuk segi empat diganti dengan
Kubah bulat terbuat dari seng, bagian depan diperluas dan dak cor beton,
dengan biaya sumbangan dari para dermawan kota Palembang dan
sekitarnya. Juga ada bantuan dari Walikota palembang pada waktu itu
yaitu H.Abdul Kadir berupa semen.
Masjid Kiai Muara Ogan yang dibangun pada tahun 1871 M, lalu di renovasi
pada tahun 1950 M. Kemudian direnovasi lagi secara besar-besaran pada
tahun 1989 yaitu dengan meninggikan plafonnya, kubah bulat yang terbuat
dari seng diganti dengan Mustaka Limas dikembalikan seperti semula,
lantainya diganti dengan keramik, pintu-pintu dan jendela diganti dengan
yang baru, dengan tidak merubah unsurnya yang asli. Renovasi ini
menelan biaya lebih kurang Rp 325 juta yang ditanggung sendniri oleh
seorang pengusaha kayu asal Palembang yaitu Bapak Kemas Haji Abdul Halim
bin Kemas Haji Ali, yang diresmikan pemakaiannya oleh Menteri Kehutanan
Republik Indonesia pada waktu itu yaitu Bapak Ir.H.Hasyrul Harahap.
Sejak direnovasi pad atahun 1989 hingga saat ini belum mengalami
renovasi lagi. Namun akhir-akhir ini plafon bagian utama masjid yang
terbuat dari kayu (tidak ikut direnovasi pada tahun 1989 karena
merupakan salah satu unsur yang asli sejak didirikannya) sudah mulai
banyak yang bocor apabila hujan turun. Untuk memperbaiki plafon yang
bocor ini, pengurus masjid atas persetujuan zuriat Kiai Muara Ogan telah
mengajukan permohonan kepada Bapak Kemas Haji Abdul Halim Ali untuk
membiayai renovasi plafon tersebut dan Alhamdulillah beliau bersedia dan
tinggal menunggu realisasinya, termasuk juga memugar makam pendiri
masjid tersebut yaitu Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud alias
Kiai Marogan. Masjid ini pada waktu dibangun berukuran panjang 25 meter
dan lebar 20 meter, setelah mengalami renovasi sekarang menjadi lebih
kurang panjang 50 meter dan lebar 40 meter sehingga dapat menampung
jamaah kira-kira 1500 orang bila Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha,
bisa juga mencapai dua kali lipat jamaah apabila termasuk di halaman
masjid.
Saat ini susunan pengurus inti Yayasan Masjid Kiai Muara Ogan yang
tercantum dalam Akte Notaris Aminus Nomor 8 tanggal 5 November 1969
semuanya sudah meninggal dunia yaitu ketua, wakil ketua, sekretaris dan
bendahara 4 (empat) orang. Akte Yayasan tersebut diperbaharui melalui
Notaris Iskandar Usman SH, M.Kn, Nomor 1 tanggal 23 Februari 2005 dengan
susunan pengurus inti yaitu Ketua Masagus Usman Ahmad, Wakil Ketua
Masagus Alwi Abdussatar, Sekretaris Masagus Haji Memet Ahmad, SE,
Bendahara Masagus Haji Husni Nasir, Wakil Bendahara Arifin Ahmad dan
Penasehat Drs. Haji Syamsuddin Mansyur Akil.
Pada saat ini hanya ada 3 (tiga) Yayasan Resmi (Legal) yang bernaung
dibawah nama Kiai Muara Ogan selain ini tidak ada. Yayasan-yayasan itu
antara lain :
1. Yayasan Masjid Kiai Muara Ogan
2. Yayasan Mujahidin Masjid Lawang Kidul
3. Yayasan Pengurus Islam Ummul Quro Al-Hamidiyah Kiai Muara Ogan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar