I will fly

Selasa, 23 Oktober 2012

membangun kesadaran diri

Kemarin pagi saya menulis tentang belenggu, yaitu sesuatu yang menjadikan seseorang, kelompok, atau bahkan bangsa tidak memiliki vitalitasnya sehingga terasa kurang dinamis, inovatif, atau maju. Pagi ini, rasanya masih ada sesuatu yang perlu saya tulis lagi. Belenggu itu bermacam-macam sumbernya. Pembelenggu itu bisa bersumber dari diri sendiri, orang lain, kondisi social, atau juga keadaan alam di mana ia atau mereka hidup.

Orang bisa terbelenggu oleh dirinya sendiri. Sifat pemalas, pikiran kacau, tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, segera puas dengan keadaan yang ada, maka semua itu adalah pembelenggu dirinya sendiri. Penyandang sifat malas atau selalu mengikuti hawa nafsu, belum tentu dirinya menyadari atau tahu akan keadaannya itu. Orang semacam itu disebut dalam al Qurán sedang berselimut atau tertutup oleh hijab. Al Qurán menyebutnya dengan istilah al mutdatsir.

Memang agaknya aneh, terhadap dirinya sendiri saja tidak semua orang berhasil mengetahuinya. Atau memang semua orang begitu. Dalam bahasa sehari-hari orang demikian disebut sebagai tidak tahu diri. Sebutan itu didengar tidak mengenakkan. Tetapi, itulah keadaannya. Banyak orang merasa mampu, padahal hakeketnya tidak. Orang merasa cakap, padahal jika diberi tanggung jawab tidak bisa menyelesaikannya. Merasa sanggup tetapi selalu gugup. Merasa pintar, tetapi selalu lambat berpikir. Memang banyak orang kritis terhadap orang lain, tetapi tidak demikian pada dirinya sendiri.

Semua hal tersebut adalah bagian dari belenggu-belenggu kehidupan. Namun, tidak semua orang tahu dan menyadarinya. Tidak semua orang tahu bahwa dirinya serba berkekurangan, terbatas, dan bahkan juga menderita. Seseorang tahu bahwa dirinya miskin, tatkala melihat orang kaya. Juga seseorang baru mengetahui bahwa dirinya bodoh, tatkala melihat orang lain telah mengalami kemajuan. Bahkan, banyak orang tidak merasa bahwa dirinya sedang dalam keadaan terbelenggu. Orang yang memiliki pengetahuan terbatas, hubungan dan juga pengalaman terbatas pula, maka tidak akan mengerti akan keadaan dirinya.

Orang yang hidup di hutan, yang tidak memiliki hubungan dengan orang lain yang sudah maju, maka tidak akan merasa bahwa hidupnya tertinggal dari masyarakat lainnya. Sekalipun hidup miskin dan serba kekurangan, maka seseorang tidak mengerti akan kekurangan dan keterbatasannya itu. Mereka baru tahu dan sadar atas keadaannya itu setelah membandingkannya dengan keadaan orang lain yang lebih maju.

Itulah pentingnya melihat atau bersilaturrahmi dengan orang lain. Dengan bertemu dan saling berkomunikasi, maka akan saling mengenal. Mereka akan saling tukar pikiran, atau saling membandingkan, dan akhirnya muncul keinginan untuk berbuat hal yang sama. Orang pada umumnya mudah untuk meniru, sekalipun kadang sulit diajak berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar